Mengapa Socrates Banyak Mengkritik dan "Membenci" Demokrasi
Mengapa Socrates Banyak Mengkritik dan Membenci Demokrasi - Di sini ada yg tau Socrates? Dia seorang filosof terkenal dari Yunani. Meski Yunani menciptakan sistem demokrasi, justru Socrates banyak mengkritisi demokrasi. Mengapa?
Socrates sendiri merupakan generasi pertama dari 3 generasi filsuf terhebat yang pernah kita dengar. Socrates adalah guru dari Plato, sedangkan Plato ialah guru dari Aristoteles. Singkatnya begitu.
Ayah Socrates berprofesi sebagai pemahat patung & ibunya sebagai bidan.
Karena secara pribadi Socrates lebih dekat ke ibunya, Socrates kemudian banyak berdiskusi bersama sang ibu. Ibunya mengajarkan berbagai macam hal yang pada akhirnya memberikan kesempatan Socrates untuk mengolah pola pikir ilmiah secara mandiri, dan milih jalur filsafat.
Socrates kemudian banyak memberikan hasil pemikirannya kepada generasi muda di daerahnya.
Jaman Socrates remaja, banyak anak muda di sekitarnya yg percaya pada konsep Tuhan & Dewa-Dewi hanya karena sebatas turunan dari agama orang tuanya. Sedangkan Socrates tidak seperti mereka.
Socrates sering melakukan tanya jawab dgn teman2 & orang di sekitarnya.
Euthyphro, seorang Ahli Agama, pernah didebatnya. Socrates mengatakan bahwa perbuatan dinilai baik bukan karena penilaian Tuhan, akan tetapi karena perbuatan itu bermanfaat & orang jadi lebih baik karenanya.
Sedang zaman itu, ada juga kumpulan orang yg disebut Kaum Sofis, yakni kaum filsuf yg sering dipandang negatif dalam sejarah filsafat.
Sofis mengajarkan -Relativisme-sekaligus membantah pandangan Socrates di atas, yakni; perbuatan baik/jahat tergantung pada budaya masyarakatnya.
Maka dari itu, Socrates sendiri banyak melayangkan kritik kepada Kaum Sofis yang hanya berkutat pada hal-hal tidak inti (substantif).
Meski demikian, Cicero, filsuf lain mengatakan, Socrates sama pada dasarnya dengan Kaum Sofis, yakni berupaya membumikan filsafat kepada manusia.
Diogenes Laertius, penulis Biografi Filsuf mengatakan, Socrates adalah pencipta etika. Socrates adalah pemikir yg tidak berjarak dengan masyarakat.
Bahkan dalam kunjungannya, Socrates menolak disebut mengajar; tetapi melayani. Dia menolak untuk dibayar dalam tiap pengajarannya.
Plato, muridnya, mengatakan bahwa Socrates juga sering berbicara hal politik dgn orang lain.
Socrates pernah mengatakan kepada Adeimantus, salah seorang warga (dasar warga, Cimoy Montok), bahwa sistem demokrasi adalah suatu sistem yg dikira masih banyak “kekeliruan” di dalamnya.
Dia mengibaratkan masyarakat dalam sistem demokrasi sebagai sebuah kapal dalam hantaman ombak.
Socrates menanyakan; “Siapa yg kamu lebih pilih untuk memimpin kapal ini; masyarakat biasa atau orang yg berpengalaman”
Adeimantus menjawab; “Pilihan kedua tentu!”
Socrates menjawab;
“Lalu mengapa kita berjudi untuk memilih orang yang tidak berpengalaman dalam memimpin suatu negara berdasarkan suara dari orang-orang yang belum terdidik?”
Maksud Socrates ialah; pemilih dalam sistem demokrasi harusnya diberi “keterampilan”, karena memilih bukan bicara insting.
Memilih pemimpin dalam suatu negara perlu dilengkapi dgn alasan logis; mengapa orang ini pantas memimpin negara? Bukan karena faktor suka-tidak suka, bahkan penampilan.
Socrates memberikan bayangan antara 2 kandidat pemimpin dalam sistem demokrasi; antara tukang permen & dokter.
Tukang permen: “Ayo pilih saya, saya bisa memberikan anda permen manis yg bisa membuat hati anda senang. Sedangkan dokter itu? Dia hanya bisa menyakitimu, melarangmu minum makan ini itu, hal hal yg kamu sukai.”
Pasti jawaban Dokter hanya: “Aku melakukan itu untuk kesehatanmu”.
Tentu jawaban ini hanya akan menyebabkan kehebohan dan ketidak puasan dalam masyarakat.
Sedangkan Socrates mengatakan, demokrasi perlu berbanding lurus dengan sistem pendidikan yg sudah matang, sehingga tak ada lagi masyarakat yg bodoh.
Sehingga pemilih demokrasi menjadi ideal.
Namun yg terjadi justru sebaliknya. Masih banyak penduduk Yunani yang menyukai pemimpin bertipe “penjual permen” dibanding pemimpin yg ahli seperti dokter.
Yang Socrates tahun sendiri, jika penduduk dan sistem ini belum diperbaiki, mereka akan kembali ke “Sistem Demagog”.
Jaman Yunani Kuno, ada pemimpin Athena bernama Alcibiades. Sebelum terpilih, ia merupakan figur yg kharismatik & pandai bicara.
Namun saat terpilih, dia melecehkan istri Raja Sparta, taktik perangnya pun berantakan. Athena pun hancur di tangan Gubernur Persia, Pharnabazus.
Pandangan Socrates ialah, demokrasi yg baik ialah demokrasi yg dapat membedakan antara demokrasi intelektual & demokrasi dari lahir.
Di mana demokrasi intelektual diberikan kepada voters yg benar2 tahu putusan politiknya, dan demokrasi dari lahir ialah hak menyampaikan pendapat.
Socrates dalam pandangannya, mengatakan bahwa demokrasi yg baik adalah demokrasi yg mendidik pemilihnya secara rutin mengenai hal hal dan kebijakan politik yg dilakukan negaranya.
Sehingga tidak ada lagi masyarakat yg memilih berdasarkan ikut-ikutan, atau pun hanya karena citra.
Meski begitu, Socrates mati diracun oleh hasil demokrasi itu sendiri.
Dia dianggap membuat kekacauan cara berpikir dalam beragama bagi para generasi muda Athena.
Pemerintah memberikan survey pada masyarakat, yang hasilnya 48% menolak dia dihukum & 52% setuju akan hal itu.
Socrates kemudian mati dgn cara disuruh meminum racun hemlock (racun dari tanaman sekitar).
Sebelum meninggal, Socrates menyampaikan pidato terakhirnya di depan khalayak:
“Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Namun soal berpisahnya jasad dari ruh menuju alam berikutnya.”
Kematiannya pun mengajarkan kita tentang konsistensi akan nilai atau paham yg ia sangat pegang teguh, meski banyak orang mempertentangkannya.
Dalam sebuah symposium, muridnya pernah mengatakan, Socrates memang biasa-biasa saja.
Hidungnya pesek, pakainnya kumal, tua, dan gemuk..
..ia bahkan lebih jelek dari para Silenus dalam drama Satiris.
Namun dalam hal perang, Socrates adalah pribadi yg paling berani di depan. Ketika teman2nya mundur karena masalah logistik/cuaca beku, Socrates malah mampu mengendalikan jasmaninya diantara teman2nya (ucap Xenopon).
Meski Socrates telah tiada, tapi pemikiran & daya imajinya masih diserap oleh berbagai kalangan orang. Dan sebaiknya, inti dari filsafat yg diajarkan Socrates kepada kita mengenai politik bisa kita pahami & pelajari bersama;
“Sudahkah kita memilih pemimpin dgn akal pikir kita?”
artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran kita bahwa sensitifitas berpikir & daya nalar juga diperlukan dalam memilih pemimpin suatu negara.
Apakah selama ini kita sudah menerapkan pola pikir kritis dalam bersikap politik, terutama saat mencoblos? Hanya kita yg tahu
Mohon disebar jika artikel ini dirasa bermanfaat. Terima kasih semua
Socrates sendiri merupakan generasi pertama dari 3 generasi filsuf terhebat yang pernah kita dengar. Socrates adalah guru dari Plato, sedangkan Plato ialah guru dari Aristoteles. Singkatnya begitu.
Ayah Socrates berprofesi sebagai pemahat patung & ibunya sebagai bidan.
Karena secara pribadi Socrates lebih dekat ke ibunya, Socrates kemudian banyak berdiskusi bersama sang ibu. Ibunya mengajarkan berbagai macam hal yang pada akhirnya memberikan kesempatan Socrates untuk mengolah pola pikir ilmiah secara mandiri, dan milih jalur filsafat.
Socrates kemudian banyak memberikan hasil pemikirannya kepada generasi muda di daerahnya.
Jaman Socrates remaja, banyak anak muda di sekitarnya yg percaya pada konsep Tuhan & Dewa-Dewi hanya karena sebatas turunan dari agama orang tuanya. Sedangkan Socrates tidak seperti mereka.
Socrates sering melakukan tanya jawab dgn teman2 & orang di sekitarnya.
Euthyphro, seorang Ahli Agama, pernah didebatnya. Socrates mengatakan bahwa perbuatan dinilai baik bukan karena penilaian Tuhan, akan tetapi karena perbuatan itu bermanfaat & orang jadi lebih baik karenanya.
Sedang zaman itu, ada juga kumpulan orang yg disebut Kaum Sofis, yakni kaum filsuf yg sering dipandang negatif dalam sejarah filsafat.
Maka dari itu, Socrates sendiri banyak melayangkan kritik kepada Kaum Sofis yang hanya berkutat pada hal-hal tidak inti (substantif).
Meski demikian, Cicero, filsuf lain mengatakan, Socrates sama pada dasarnya dengan Kaum Sofis, yakni berupaya membumikan filsafat kepada manusia.
Diogenes Laertius, penulis Biografi Filsuf mengatakan, Socrates adalah pencipta etika. Socrates adalah pemikir yg tidak berjarak dengan masyarakat.
Bahkan dalam kunjungannya, Socrates menolak disebut mengajar; tetapi melayani. Dia menolak untuk dibayar dalam tiap pengajarannya.
Socrates pernah mengatakan kepada Adeimantus, salah seorang warga (dasar warga, Cimoy Montok), bahwa sistem demokrasi adalah suatu sistem yg dikira masih banyak “kekeliruan” di dalamnya.
Dia mengibaratkan masyarakat dalam sistem demokrasi sebagai sebuah kapal dalam hantaman ombak.
Socrates menanyakan; “Siapa yg kamu lebih pilih untuk memimpin kapal ini; masyarakat biasa atau orang yg berpengalaman”
Adeimantus menjawab; “Pilihan kedua tentu!”
Socrates menjawab;
“Lalu mengapa kita berjudi untuk memilih orang yang tidak berpengalaman dalam memimpin suatu negara berdasarkan suara dari orang-orang yang belum terdidik?”
Maksud Socrates ialah; pemilih dalam sistem demokrasi harusnya diberi “keterampilan”, karena memilih bukan bicara insting.
Memilih pemimpin dalam suatu negara perlu dilengkapi dgn alasan logis; mengapa orang ini pantas memimpin negara? Bukan karena faktor suka-tidak suka, bahkan penampilan.
Socrates memberikan bayangan antara 2 kandidat pemimpin dalam sistem demokrasi; antara tukang permen & dokter.
Tukang permen: “Ayo pilih saya, saya bisa memberikan anda permen manis yg bisa membuat hati anda senang. Sedangkan dokter itu? Dia hanya bisa menyakitimu, melarangmu minum makan ini itu, hal hal yg kamu sukai.”
Pasti jawaban Dokter hanya: “Aku melakukan itu untuk kesehatanmu”.
Tentu jawaban ini hanya akan menyebabkan kehebohan dan ketidak puasan dalam masyarakat.
Sedangkan Socrates mengatakan, demokrasi perlu berbanding lurus dengan sistem pendidikan yg sudah matang, sehingga tak ada lagi masyarakat yg bodoh.
Sehingga pemilih demokrasi menjadi ideal.
Namun yg terjadi justru sebaliknya. Masih banyak penduduk Yunani yang menyukai pemimpin bertipe “penjual permen” dibanding pemimpin yg ahli seperti dokter.
Yang Socrates tahun sendiri, jika penduduk dan sistem ini belum diperbaiki, mereka akan kembali ke “Sistem Demagog”.
Jaman Yunani Kuno, ada pemimpin Athena bernama Alcibiades. Sebelum terpilih, ia merupakan figur yg kharismatik & pandai bicara.
Namun saat terpilih, dia melecehkan istri Raja Sparta, taktik perangnya pun berantakan. Athena pun hancur di tangan Gubernur Persia, Pharnabazus.
Pandangan Socrates ialah, demokrasi yg baik ialah demokrasi yg dapat membedakan antara demokrasi intelektual & demokrasi dari lahir.
Di mana demokrasi intelektual diberikan kepada voters yg benar2 tahu putusan politiknya, dan demokrasi dari lahir ialah hak menyampaikan pendapat.
Socrates dalam pandangannya, mengatakan bahwa demokrasi yg baik adalah demokrasi yg mendidik pemilihnya secara rutin mengenai hal hal dan kebijakan politik yg dilakukan negaranya.
Sehingga tidak ada lagi masyarakat yg memilih berdasarkan ikut-ikutan, atau pun hanya karena citra.
Meski begitu, Socrates mati diracun oleh hasil demokrasi itu sendiri.
Dia dianggap membuat kekacauan cara berpikir dalam beragama bagi para generasi muda Athena.
Pemerintah memberikan survey pada masyarakat, yang hasilnya 48% menolak dia dihukum & 52% setuju akan hal itu.
Socrates kemudian mati dgn cara disuruh meminum racun hemlock (racun dari tanaman sekitar).
Sebelum meninggal, Socrates menyampaikan pidato terakhirnya di depan khalayak:
“Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Namun soal berpisahnya jasad dari ruh menuju alam berikutnya.”
Kematiannya pun mengajarkan kita tentang konsistensi akan nilai atau paham yg ia sangat pegang teguh, meski banyak orang mempertentangkannya.
Dalam sebuah symposium, muridnya pernah mengatakan, Socrates memang biasa-biasa saja.
Hidungnya pesek, pakainnya kumal, tua, dan gemuk..
..ia bahkan lebih jelek dari para Silenus dalam drama Satiris.
Namun dalam hal perang, Socrates adalah pribadi yg paling berani di depan. Ketika teman2nya mundur karena masalah logistik/cuaca beku, Socrates malah mampu mengendalikan jasmaninya diantara teman2nya (ucap Xenopon).
Meski Socrates telah tiada, tapi pemikiran & daya imajinya masih diserap oleh berbagai kalangan orang. Dan sebaiknya, inti dari filsafat yg diajarkan Socrates kepada kita mengenai politik bisa kita pahami & pelajari bersama;
“Sudahkah kita memilih pemimpin dgn akal pikir kita?”
artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran kita bahwa sensitifitas berpikir & daya nalar juga diperlukan dalam memilih pemimpin suatu negara.
Apakah selama ini kita sudah menerapkan pola pikir kritis dalam bersikap politik, terutama saat mencoblos? Hanya kita yg tahu
Mohon disebar jika artikel ini dirasa bermanfaat. Terima kasih semua
Posting Komentar